Senin, 09 Maret 2009

The Francesco's Story


Francesco tidak akan pernah terkenal sebagai “pembuat pedang terbaik di seluruh Italia” atau “pengrajin logam terbesar di Firenze”, tetapi ini tidak penting baginya. Dia ingin menjadi pedagang yang baik, pandai besi handal dengan harga yang pantas, namun keinginan sejatinya adalah menjadi suami yang baik. Dia selalu mengatakan bahwa prestasi terbaiknya sebagai pengrajin logam adalah cincin pernikahan yang ditempanya sendiri untuknya dan Graziana. Di salah satu ruangan rumah mereka, ada kumpulan mainan logam untuk anak yang sedang mereka upayakan kehadirannya. Dia berangan-angan suatu hari nanti akan menjadi ayah yang penyayang bagi anak-anak mereka.
Mereka berbahagia. Graziana baik hati. Francesco setia. Ada lagi yang perlu dikatakan?
Sayangnya ada.
Waktu itu tahun 1347 dan sebuah penyakit-baru berjangkit dari China, penyakit paling mengerikan yang pernah dilihat semua orang. Ia menyapu mulai dari pelabuhan, memasuki kota dan pedesaan Italia, menewaskan penduduk seperti api kebakaran melalap pohon-pohon di hutan. Di kota, lonceng gereja berdentang tak henti-henti karena diyakini bunyinya dapat mengusir penyakit itu. Dan suatu siang, Graziana merasa demam. Dia beristirahat ke kamarnya untuk tidur siang. Ketika dia terbangun di senja hari, didapatinya ada benjolan sebesar telur di pangkal pahanya, dan bengkak di bawah ketiaknya. Dia tahu Kematian Hitam sudah datang menghampiri.
Di dapur, Francesco tengah menyiapkan makanan. Graziana berteriak menyuruhnya pergi, segera, karena Graziana sudah terserang penyakit itu. “Gavoccioli!” teriaknya. Ada bubo [1.Bubo adalah benjolan semacam bisul yang sangat menyakitkan di daerah ketiak , pangkal paha, atau leher, yang terjadi akibat adanya infeksi karena terkena wabah]. Graziana mendesak Francesco untuk menyelamatkan diri, karena semua orang tahu bahwa tidak ada obat, tidak ada harapan. Dia memohon dengan sangat, “Pergilah! Pergilah sekarang juga!”
Ada keheningan menggantung di dapur. Graziana terbaring di tempat tidurnya, mendengarkan kesunyian yang menyelimuti jarak antara dia dan suaminya. Lalu dia mendengar suaminya mulai memukuli panci dan wajan untuk menutupi bunyi tangisnya. Hal itu berlangsung selama beberapa menit; lalu terdengar langkah Francesco menuju kamar Graziana. Graziana berteriak dan menyumpah dan berkeras agar Francesco menjauh, tetapi dia muncul di ambang pintu bersama sebaki pasta dan sejumlah anggur.
“Kau akan merasa lebih baik kalau kau makan, walau cuma sedikit,” ujar Francesco. Dia memasuki kamar, meletakkan baki, dan duduk di samping Graziana. Lalu dia bergerak akan mencium istrinya.
Graziana berusaha menjauh. Itulah kali pertama dan satu-satunya dalam hidupnya, Graziana berusaha menolak Francesco, tetapi Francesco menggunakan kekuatan pandai besinya untuk mendesakkan diri dan mengecup semua keberatan Graziana kembali ke bibirnya. Setelah beberapa detik, Graziana menyadari tak ada gunanya melawan dan dia pun menerima Francesco. Selesai.
Malam itu mereka hanya makan sedikit, lalu berbaring. Lewat jendela, bulan purnama menyambangi mereka. “La luna e tenera,” ucap Francesco. Bulan itu lembut. Francesco menutup matanya dan memeluk Graziana erat-erat. Hal terakhir yang dilihat Graziana malam itu adalah wajah lelap Francesco. (lebih lanjut)